Sabtu, 21 Juli 2018

Petjah

Rumah, 21 Juli 2018

Pagi tadi aku menyeduh kopi, baru berapa teguk gelasnya tersenggol olehku. Ah sial. It's oke semua baik-baik saja dalam pikirku sambil mebersihkan pecahan gelas dan tumpahan air kopi.

Malam ini, aku bergetar hebat melihat apa yang ku temukan. Lidahku kelu, banyak hal yang ingin dan harus aku utarakan tapi dengan emosi seperti itu apa aku mampu mengelola emosiku. Aku putuskan diam dulu dan mencoba menguasai diri dari emosi sebelum ada yang meleleh dimataku. Aku tahu mungkin ini pantas disebut pengecut, tapi tunggu. Itu yang terbersit dalam benakku. Dari pada bertindak gegabah dan konyol. Egois? Sepertinya iya. Tapi banyak hati yang harus ku jaga. Tapi hatiku sendiri bagaimana? Biarlah, aku punya Allah disaat tak ada orang yang bisa ku ajak untuk bicara.

Hal yang selama ini aku cari, aku sudah mendapatkan jawabannya. Maski masih serpihan, tapi aku sudah melihat dengan mata kepalaku sendiri kenyataanya.

Ya Allah kuatkan hamba!

Jumat, 20 Juli 2018

Bagaimana ini?

Rumah, 20 Juli 2018
Seperti biasa, aku lebih memilih jalan yang agak sepi, namun lebih banyak penghijauan meskipun agak 'jelek' dibanding jalan utama yang lumayan mulus namun selalu ramai. Bukan tidak suka keramaian, hanya saja kondisi jalan yang agak sepi membuatku bisa pulang sambil berpikir panjang dan menikmati perjalanan dengan napas yang cukup lega setelah lumayan sesak sehabis kerja seharian.

Namun, dijalan yang biasa kulewati ada pemandangan yang berbeda. Dimana biasa ku lihat dua orang anak, yang satu laki-laki dan yang satu perempuan (lebih tua beberapa tahun dibanding adiknya, pikirku). Setiap aku lewat jalan tersebut, aku selalu melihat wajah-wajah murung dengan karung dan pakaian yang cukup memprihatinkan. Terbersit dalam benakku, dimana kedua orang tua mereka? Bagaimana bisa membiarkan anak-anaknya seperti ini? Bagaimana bisa ada dilingkungan seperti ini? Anak yang seharunya berada dibangku belajar dan dalam pengawasan orang tuanya, bagaimana bisa terlantar begini.
Kali ini yang menarik dan membuat hatiku terasa perih, dua anak itu tengah duduk layaknya mohon maaf 'pengemis' liat sana-sini dengan karung didepannya. Sedang dua anak perempuan dengan penampilan bersih dan gaya berada di samping mereka tengah berdiri dan memakan eskrim entah susu.
Hatiku ngilu, apa dunia sekejam ini?
Apa mereka tidak lebih baik berjualan saja? Apa sungguh ini pilihan terakhir? Pikirku. Disisi lain pikirku menjawab, modal dari mana? siapa yang akan mempercayai mereka untuk menjualkan barang orang lain? Apalagi dengan 'penampilan seperti tadi'.
Aku merasa selama ini kurang bersyukur terhadap apa yang kumiliki, apalah arti beban hidupku dibanding beban hidup mereka. Sekecil itu dan diusia itu mereka harus menanggung beban hidup, terlebih pandangan sekitarnya yang menjadikan mereka terpinggirkan.
Ini masalah, aku masih belum bisa berbuat apa-apa meski hatiku ngilu melihatnya. Bagaimana ini?