Kamis, 04 Agustus 2016

Catatan Magang

Assalamualaikum!
Alhamdulillah H-10 menuju beresnya magang yeyeye. Aku magang di bank bjb KCP Dayeuhkolot, sekitar dua bulan yang lalu. Yaa meskipun diabsen ada 40 hari, tetep aja realitanya sampe hampir tiga bulan. Kenapa begitu? Ya kan 40hari kerja, kalo tanggal merah atau libur lebaran kemarin mana dihitung. Berasaa makin panjang deeeh :(
Sungguh magangnya diluar bayangan loh, tapi yaa dibawa enjoy aja sih. Yaah meskipun pada awalnya barengan sama rof'ah dan sekarang dia udah kelar magangnya, jadi gaada temen seperjuangan deeh.
Tapi gimanapun kondisinya, harus tetep semangat lah yaaa.
Tapi rasa-rasanya udah pengen beres banget, senin-jum'at magang dan sabtu minggu kadang ada acara kampuslah keluargalah. Kadang pengen waktu buat sendiri, ya sekedar tidur seharian, nonton film atau olahraga atau ngapainlah buat ngerefreshin lahir batin haha bahasanya lahir batinlah. Iya gitulah pokoknya, bukan ga bersyukur sama yang Allah kasih sekarang ya kegiatan produktif dan bermanfaat. Tapi ya dasar manusia, dikasih ini minta itu dikasih itu minta ini. Pabeulitlah huhu
Tapi gimana Allah aja deh aku mah, aku yakin Allah ngasih yang aku butuh bukan yang aku ingin, karena Dia yang tau yang terbaik buat aku.
Kembali lagi ke magang, terimakasih bank bjb KCP Dayeuhkolot atas ilmunya, pengalamannya dan rejekinya tentuu hehe semuanya sangat bermakna dan insyaallah berguna.
Yang terbaik ya buat bank bjb KCP Dayeuhkolot dan semua karyawannya.
Be professional, be responship, be the best and go spirit untuk Indonesia ^^
Salam @ bankbjbKCPDayeuhkolot

Selasa, 12 Juli 2016

Sahabat Tak Terduga

"Asa cikeneh zaman sms san "hay" nya.  Hehhe,,, ehh tp eta mh nju taun 2010 duka 2011 nya,,,  duka 2009 ktang,,, =d =d" begitulah ungkapnya saat mengenang beberapa tahun lalu diawal pertemanan kami.
Sebut saja namanya Hikmat, berawal dari kenalan teman SMP ku yang bernama Dewi. Hikmat mengaku mengambil nomor hpku dari kontak dewi, dan dari sana mulailah pertemanan kami.
Setelah selang beberapa waktu lulus SMP, aku dan Dewi putus komunikasi karena ganti nomor hp satu sama lain.
Jujur, pada awalnya aku berteman dengan Hikmat untuk mendapat kontak Dewi agar bisa berkomunikasi lagi dengannya. Tapi setelah sekian waktu, sudut pandangku berubah. Aku mulai sering curhat dan minta saran begitupun sebaliknya, Hikmat sosok sahabat, berpola pikir dewasa dan bagai seorang kakak.
Lucunya, pernah suatu hari aku berangkat kuliah naik angkot jurusan Dayeuhkolot-Buah Batu dan duduk dekat pintu, ketika sudah sampai dikelas tiba-tiba ada sms masuk dari Hikmat. Dia bertanya apa aku memakai baju putih dan kerudung ijo serta duduk di dekat pintu angkot jurusan Dayeuhkolot-Buah Batu, aku kaget hahaha dan tentunya menjawab "iya, naon kitu?"
Hikmat menjawab bahwa dia melihatku di tempat kerjanya di daerah Buah Batu dan dia berkata "1-0" karena dia telah melihatku secara langsung dan aku belum pernah melihatnya secara langsung ><
Memang meskipun sudah bertahun-tahun kami berteman, tetapi belum pernah berjumpa langsung alias face to face hahaha
Yang pasti, semoga persahabatan kita membawa kita ke arah yang lebih baik ya soooob! Aamiin
"Soob" itulah panggilan yang sudah melekat bagi kami satu sama lain ^^

Rabu, 27 April 2016

Assalamualaikum!!
Kali ini, aku mau berbagi cerita melalui cerita pendek yang judulnya “puzzle”. Berasa kurang nyambung sih judul sama ceritanya, tapi bingung mau ngasih judul apa hihi tapi boleh dibaca laah, kalo penasaran sama hikmah ceritanya. Aku membuat cerpen ini terinspirasi dari kisah nyata, dan kemudian ada tugas untuk membuat cerpen, alhasil seperti inilah jadinya.

PUZZLE
         Bruuuk, suara gayung jatuh ke lantai yang tersenggol tanganku, membuatku tersentak dan sadar bahwa ini bukan mimpi. Lima test pack dengan merk yang berbeda di hadapanku ini, semuanya menunjukan dua garis yang mengartikan bahwa aku positif hamil. Sudah dua bulan ini aku tidak datang bulan, tapi aku pikir ini bukan hamil, karena siklus datang bulanku tidak teratur. Apa yang harus aku lakukan, bagaimana cara aku memberitahu anak dan keluarga besarku ketika dalam kondisi seperti ini.
            Hampir enam bulan ini aku menikah siri dengan Mas Irwan, tapi tidak ada seorang pun dari keluarga besarku yang tahu atas pernikahan ini termasuk Irna anakku sendiri. Karena aku tahu mereka tidak akan pernah menyetujui pernikahan ini. Apalagi ini merupakan pernikahan yang keempat kalinya bagiku.
            Dengan latar belakang tiga kali gagal dalam membina rumah tangga, awalnya aku tidak berfikir untuk menikah lagi karena diketiga pernikahanku itu selalu aku menjadi pihak yang tersakiti. Tapi bertemu Mas Irwan, aku merasa dicintai dengan sepenuh hati, dia memperhatikanku bahkan dari hal terkecil dan hal terpenting dia sangat pengertian atas segala sesuatu tentangku, dari mulai kasih sayang, sikapku yang belum dewasa juga kebutuhan keuangan yang lebih dari cukup. Hanya satu hal yang harus aku terima dan mengerti dari Mas Irwan, waktu yang dia berikan untukku tidak intens karena dia memiliki istri dan anak-anak. Dan mereka pun tidak tahu akan pernikahan kami.
Kami tak pernah memiliki waktu wajarnya pasangan suami istri, aku pun tak pernah mempermasalahkannya. Kami hanya bertemu ketika saling rindu, itupun tidak pernah bertemu dirumah. Kami biasanya menghabiskan waktu bersama dengan alasan pekerjaan kepada orang rumah.
Pernikahanku kali ini 180 derajat berbeda dengan ketiga pernikahanku sebelumnya. Pada pernikahan pertama, aku menikah dengan seorang guru. Pada awal pernikahan aku dilarang untuk kerja, aku pun menurut demi rumah tangga kami, tapi semakin lama aku semakin sulit untuk pergi kemanapun termasuk menemui orangtuaku. Aku hanya menghabiskan waktu dirumah, melayaninya dari mulai dia bangun sampai tidur. Aku layaknya pelayan bagi dia. Hal yang paling menyakitkan dan tak bisa aku terima  dari mantan suamiku yang pertama itu, ketika dia melarang aku menengok ayahku yang tengah sakit dan kemudian meninggal, hingga aku tak bisa menemani sakaratul mautnya. Aku tidak tahan lagi, dan aku menggugat cerai. Akhirnya kami bercerai dan hak asuh anak kami Irna jatuh ketanganku.
Pada pernikahan kedua, aku fikir itu adalah pernikahan terakhirku. Tapi takdir berkata lain, rumah tanggaku tidak lebih baik dari yang pertama. Mantan suamiku yang kedua banyak melakukan kekerasan terhadapku, pada awalnya aku bertahan karena aku percaya dia akan berubah menjadi lebih baik. Namun pada akhirnya aku tak bisa bertahan lagi karena prilakunya semakin menjadi, dia berjudi, mabuk dan melakukan kekerasan tak hanya padaku tapi juga pada anakku Irna, kami pun bercerai.
Aku tak berfikir untuk menikah lagi, karena aku cukup trauma dengan kedua pernikahanku yang gagal. Aku tak mengerti, apakah ini takdir atau nasib. Aku selalu menjadi korban dari ketidakadilan dan ketidakbebasan dari laki-laki yang egois, tak hanya itu, akibat kegagalan rumah tanggaku aku mendapat pelabelan negatif seperti Trisa si tukang kawin dan istri pembangkang dari orang-orang sekitar rumah. Pernah suatu waktu, ketika aku sedang membersihkan mobilku dihalaman rumah, aku mendengar ibu-ibu yang sedang membicaraan hal negatif tentangku sambil berbelanja sayuran di roda Mang Imin, tukang sayur dikomplek, aku hanya mengelus dada saja. Namun, yang paling membuatku sakit adalah ketika anakku tak memiliki teman dekat yang bisa dia ajak curhat atau main diusianya karena setelah perceraianku dia menjadi berkarakter penyendiri dan pendiam.
Ditengah keterpurukanku akan kejadian-kejadian tersebut, Pak Bumi manajerku dikantor selalu memotivasiku untuk bangkit. Akhirnya kami pun bersahabat baik dan selalu sharing. Aku sangat kagum dengan kekuatan cintanya pada almarhumah istrinya, sudah hampir tujuh tahun dia menduda dengan dua anak laki-laki yang dia besarkan seorang diri. Namun, entah kapan percikan cinta diantara kami tumbuh, tiba-tiba dia melamarku dan kami pun menikah, meskipun pada awalnya sebagian keluarga besar tidak setuju karena perbedaan usia yang cukup jauh diantara kami yakni selisih 27 tahun. Bahkan kakakku berkata dengan kasarnya,


bahwasanya aku lebih cocok jadi anaknya ketimbang jadi istrinya. Namun ibuku merestui, sehingga aku yakin terhadap Pak Bumi. Diusia pernikahan kami yang ketujuh bulan, ketika keluarga sakinah kurasakan bersamanya, dia meninggal, yang dua hari kemudian disusul oleh ibuku. Aku begitu marah pada Allah, kenapa Dia merenggut kebahagiaanku. Aku begitu terpuruk.
Sepeninggal suamiku, aku tinggal dirumah bersama Irna dan kedua anak tiriku dari pernikahanku bersama Pak Bumi. Kami memiliki hubungan yang baik, karena memang anak-anak sangat mendukung pernikahanku dengan Pak Bumi. Mereka pun sepakat untuk tinggal bersamaku, meskipun Pak Bumi sudah tidak ada. Namun setelah beberapa bulan, keluarga besar dari Pak Bumi datang kerumah, mereka meminta kedua anak tiriku dan harta peninggalan Pak Bumi. Pada awalnya kedua anak tiriku menolak, karena memang kami memiliki hubungan bagaikan ibu dan anak kandung. Tapi entah apa yang mereka katakan terhadap kedua anak tiriku, akhirnya kedua anak tiriku mau ikut bersama mereka dengan harta peninggalan Pak Bumi yang sebelumnya dibagikan dulu denganku. Dalam pembagian warisan itu, untuk mencegah terjadinya percekcokan, kami berkonsultasi dengan Mas Irwan yang merupakan seorang tokoh agama dan juga merupakan relasi Pak Bumi sewaktu masih hidup. Disitulah pertemuan pertamaku bersama Mas Irwan.
Hari demi hari ku lalui hanya dengan bekerja dan mengurusi putriku, hari-hariku terasa hampa setelah kejadian yang menimpaku itu. Hingga disuatu hari aku mendapat rekomendasi dari atasanku untuk menjadi calon manajer keuangan dikantor, aku pun kaget dan bahagia. Karena sejauh ini dikantor tidak pernah ada manajer perempuan, aku bertanya kepada atasanku kenapa beliau menunjukku sebagai salah satu kandidatnya. Beliau menjawab karena aku memiliki kemampuan yang unggul dan tidak kalah saing dengan karyawan lelaki, selain itu perempuan juga memiliki hak yang sama dengan lelaki untuk menjadi pemimpin. Bahkan beliau menceramahiku dengan beberapa ayat Al-Quran mengenai kepemimpinan perempuan.
Proses penentuan manajer keuangan pun berlangsung cukup sengit, dan akhirnya aku pun terpilih. Semingggu setelah itu, diadakan pelantikan. Pada proses pelantikan itu, aku bertemu Mas Irwan yang ternyata dia pun


dilantik pula sebagai manajer personalia dikantor. Kami sama-sama terkejut dan saling mengucapkan selamat satu sama lain. Dan mau tidak mau, kami pun menjadi sering bertemu, baik dalam acara rapat maupun kerjasama dalam penerimaan karyawan baru di divisi keuangan. Pada awanya, kami sebatas profesional kerja. Tapi, karena pertemuan dan kerjasama kami semakin intens, kami pun menjadi akrab dan sering sharing bahkan tentang masalah pribadi, hingga akhirnya timbul rasa nyaman satu sama lain. Kami pun saling tahu dan mengerti latar belakang kami masing-masing, dan kami memutuskan untuk menjadi lebih dari sekedar rekan kerja. Kami sering keluar berdua dan akhirnya sepakat untuk menikah secara diam-diam karena memang kondisi kami yang tidak mendukung.
Sekarang, aku tersandung buah dari apa yang aku tanam. Masalah yang rumit, bahkan baru kali ini aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Ketakutan-ketakutan muncul dikepalaku, hal yang paling aku takuti adalah Irna, aku takut dia tidak bisa menerima kenyataan ini. Anakku, keluargaku, pekerjaan, bagaimana aku mengatasi ini, karena aku sadar betul bahwa perutku semakin lama akan semakin membesar. Ini adalah hal yang tak bisa kututupi lagi.
Aku segera menghubungi Mas Irwan dan mengabari hal ini, dia malah senang akan kehamilanku. Dan aku pun marah, bagaimana bisa dia senang sedang aku dalam masalah. Dia pun menenangkanku, dia berkata bahwa anak kita ini anak sah, bukan anak haram jadi tidak perlu membesar-besarkan masalah ini. Bukannya tenang, amarahku malah semakin meledak. Bagaimana bisa dia berkata begitu dengan mudahnya, dia tidak akan menanggung malu karena perutku yang akan membesar bukan perutnya.
Handphoneku berdering semalaman, entah berapa kali Mas Irwan menelponku. Aku tak ingin mengangkatnya, akupun memutuskan untuk tidak masuk kerja pada hari itu. Irna bertanya kepadaku apa aku sakit, aku hanya menjawab tidak enak badan. Tadinya dia tidak akan sekolah karena ingin merawatku, tapi aku melarangnya dengan alasan aku hanya perlu istirahat dan dia tidak perlu khawatir. Seperginya Irna sekolah, tak hentinya aku menangis. Maafkan mama Irna, mama bukan Ibu yang baik.
Aku mendengar suara mobil didepan rumah, ternyata Mas Irwan yang datang. Dia langsung memelukku dan meminta maaf, aku menangis sejadi-jadinya dipelukannya. Setelah tangisanku mereda, Mas Irwan memasak dan menyuapiku, karena dia sangat tahu betul ketika aku dalam masalah aku tidak ingat makan. Baru beberapa suap makan, aku pun muntah. Mas Irwan pun membersihkan makanan yang berserakan dan muntahanku.
Akupun istirahat ditempat tidur, Mas Irwan pun tetap disampingku. Dia berkata bahwa kita harus jujur kepada anak dan keluargaku akan pernikahan kita, dan aku pikir itulah yang terbaik. Kami pun langsung mendatangi keluargaku dan mengatakan semuannya, keluargaku pun sangat kaget dan marah, aku dan Mas Irwan minta maaf kepada mereka atas ketidakdewasaan kami. Bruuuuk, tiba-tiba suara sesuatu terjatuh dibalik pintu, kami memeriksanya dan ternyata Irna pingsan karena mendengar pembicaraan kami. Hatiku sangat sakit melihat anakku terbaring pingsan karena ulahku, tak hentinya aku menangis. Kurang lebih setengah jam akhirnya Irna sadar, aku minta maaf kepadanya, dia tidak meresponiku dan hanya diam.
Keesokan harinya, aku kekamar Irna dan aku melihat makanan yang semalam kusimpan dimeja belajarnya masih utuh. Aku menyuruhnya sarapan pun dia tak menanggapiku dan langsung berangkat sekolah, hatiku begitu sakit. Setelah Irna berlalu dari pandanganku, aku pun pergi kekantor dengan air mata yang tak hentinya mengalir.
Hari ini aku langsung pulang kerumah. Setibanya dirumah, aku mendapati mantan suami pertamaku yang tidak lain adalah ayah Irna. Dia berkata akan membawa Irna tinggal bersamanya, aku pun tak mengijinkannya. Dia marah besar, dia mencaciku sebagai ibu yang tidak becus dan langsung mengajak Irna pergi, aku menahan Irna dan memegangi tas Irna yang berisi pakaian dan barang-barang lainnya yang telah Irna persiapkan, tapi Irna mengatakan ingin tinggal bersama ayahnya. Ayah Irna langsung membawa Irna pergi, Irna berlalu dari pandanganku. Akupun menangis sejadi-jadinya dengan memeluk erat tas Irna yang sedari tadi tidak aku lepaskan.
Matakku begitu berat untukku buka, melihat sekeliling ternyata aku berada dikamar Irna. Seperginya Irna aku tak henti menangis, sampai tertidur dikamarnya. Tiba-tiba handphoneku berbunyi, ternyata Mas Irwan menelpon. Aku menyuruhnya datang kerumah.
Setibanya Mas Irwan dirumah, aku menceritakan kejadian tadi. Dia pun menenangkanku dan malam itu memutuskan menginap dirumah.
Saat keesokan paginya, aku berbelanja sayuran di Mang Imin. Saat aku menghampiri roda Mang Imin, aku melihat pandangan sinis ibu-ibu kompleks yang sama-sama sedang belanja dan langsung diam ketika aku datang, mungkin mereka sedang membicarakanku. Namun, pikirku semakin khawatir kepada Irna, aku takut Irna mendapat perlakuan seperti ini dari teman-teman disekolahnya. Jaga diri baik-baik Irnaku sayang, maafkan mamah.
Aku berkali-kali menelpon dan sms Irna, dia tidak mengangkat telponku juga tidak membalas smsku. Aku semakin khawatir kepadanya. Aku pun memutuskan mendatangi sekolahnya tapi pihak sekolah mengatakan bahwa Irna pindah sekolah, tanpa pikir panjang aku langsung mendatangi rumah ayah Irna. Setibanya dirumah ayah Irna, ternyata rumahnya sudah dijual dan mereka sudah pindah rumah juga.
Setiap hari aku menghubungi nomor Handphone Irna selalu tidak aktif. Aku bertanya pada teman-teman Irna, tidak ada yang mengetahui baik nomor Handphone atau pun alamat barunya. Baru kali ini aku merasakan hatiku sesakit ini, anakku Irna tidakkah kamu merindukan mamah, apa ini cara kamu menghukum mamah. Irnaku ampuni mamah..
Mas Irwan semakin sering menginap dirumah, mungkin karena dia khawatir dengan kondisiku. Menginjak bulan ketujuh usia kandunganku, aku memutuskan untuk cuti dari kantor karena kondisi kehamilanku semakin lemah sebagai akibat dari stress berat. Bagaimana tidak, aku ditinggal anakku dan sampai saat ini aku tidak mengetahui keadaannya. Hingga disuatu hari, aku menemukan Handphone ketika aku beres-beres dirumah. Yang tidak lain itu adalah Handphone milik Irna, dan selama ini aku menghubungi Handphone yang berada dirumah. Handphone itu mati, aku langsung mengcharger Handphone itu.
Kaget bukan main, ketika aku membaca pesan masuk yang ada di Handphone itu. Pesan itu berisi makian terhadap aku dan Irna, dikatakannya buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya, ibunya perusak rumah tangga orang lain dan perebut suami orang maka anaknya pun akan tumbuh seperti itu. Aku langsung terkulai lemah dilantai, anakku Irna maafkan mamah, beban kamu terlalu berat dan tak seharusnya beban itu kamu pikul nak, kamu mendapat getah dari apa yang mamah perbuat. Maafkan mamah sayang, sungguh ini diluar dugaan mamah, kenapa kamu tidak ceritakan ini pada mamah nak?
Aku menceritakan hal tersebut kepada Mas Irwan, dia pun langsung melacak nomor Handphone tersebut. Ternyata nomor tersebut merupakan nomor Handphone salah satu karyawan kantor tempat kami kerja. Ketika diselidiki, dia merupakan teman istri pertama Mas Irwan yang curiga akan kedekatan aku dan Mas Irwan dan diam-diam menyelidiki kami. Setelah dia mengetahui pernikahan kami, dia sengaja meneror anakku agar kami segera jujur terhadap istri pertama Mas Irwan karena dia tidak tega kalau harus mengatakkannya langsung kepada istri Mas Irwan.
Kondisiku semakin melemah, Mas Irwan pun menelpon dokter untuk datang kerumah. Beberapa saat kemudian terdengar suara ketukan pintu, dokternya sangat cepat, pikirku. Mas Irwan pun membuka pintu, kemudian terdengar percekcokan yang disusul tangisan seorang perempuan. Aku memaksakan diri keluar kamar untuk mengeceknya, ternyata yang datang adalah istri pertama dan anaknya. Aku sangat terkejut. Mereka langsung mencaciku, belum sempat aku menjawab tiba-tiba semuanya terlihat sangat gelap.
Saatku membuka mata, kulihat sekeliling. Ternyata aku berada dirumah sakit. Mas Irwan menatapku hampa, aku balas menatapnya dengan tatapan kosong sambil ku pegangi perutku. Ada yang berbeda dengan perutku, “apa aku sudah melahirkan?” tanyaku pada Mas Irwan. Dia menangis dan berbisik kepadaku bahwa anak kami telah meninggal dan sudah dikebumikan dua hari yang lalu. Aku tercengang dan sekelilingku kembali terlihat gelap.
Terdengar suara bercakap, aku pun membuka mata. Ternyata kakak perempuanku dengan suster, mereka tengah membicarakan perkembangan kondisiku. Aku memanggil mereka, dan mengatakan bahwa aku ingin menenangkan diri dan tidak ingin bertemu dengan siapapun dulu termasuk suamiku.
Seminggu kemudian, aku diijinkan untuk pulang. Dan selama itupun aku tidak bertemu dengan Mas Irwan, meskipun dia setiap hari datang ke rumah sakit. Aku juga memohon kepada dokter untuk tidak memberitahunya akan waktu kepulanganku dari rumah sakit. Aku pulang dijemput keluargaku, tapi aku meminta mereka untuk mengantarkanku ke pemakaman anakku dulu. Setibanya di pemakaman, aku menangis dan kembali tidak sadarkan diri.
Tidak terasa hampir sebulan ini aku berada dirumah, aku mengirim sms kepada Mas Irwan agar dia tidak menemuiku dulu hingga nanti aku sudah merasa siap. Tidak aku sangka semuanya akan seperti ini, anak-anakku meninggalkanku. Mungkinkah ini hukuman untukku?
Tiada henti aku merenung akan kisah hidupku, kucari akar dari permasalahan hidupku. Hingga aku berkonsultasi kepada seorang ustadzah untuk mendapat jawabannya, kuceritakan kisah hidupku kepadanya, dari mulai pernikahanku yang pertama sampai pernikahanku saat ini. Beliau mengatakan bahwa aku merupakan korban sekalikus pelaku ketidakadilan. Aku tidak mengerti apa yang dikatakannya, aku pun meminta penjelasannya, tapi beliau mengatakan untuk aku mencari jawabannya sendiri karena beliau meyakini bahwa jika aku lebih tau akan diriku sendiri. Dan beliau menyarankan jika aku sudah menemukan jawabannya untuk segera menemuinya kembali.
Pikirku bulak-balik memahami apa yang ustadzah ucapkan, setelah aku menemukan titik dimana permasalahan itu muncul segera aku menemui kembali ustadzah. Aku ungkapkan temuan jawabanku kepada beliau, pada pernikahan pertama masalahku dimulai sejak mantan suamiku terlalu protektif dan membatasi segala hal, pada pernikahan kedua masalahku dimulai sejak mantan suamiku melakukan kekerasan terhadap aku dan Irna, pada pernikahan ketiga aku merasakan kebahagiaan yang sebenarnya dan masalah justru muncul ketika Allah mengambil suamiku, aku marah kepada Allah bahkan hingga sekarang dipernikahan keempat aku masih merasakan amarah itu. Dan dipernikahan keempat justru aku merasa banyak melakukan kesalahan, terutama kepada anak-anakku dan Istri pertama beserta anak-anak Mas Irwan.
Ustadzah menjawab bahwa jawabanku mendekati jawabannya, menurut beliau inti atau akar dari permasalahanku adalah terletak pada pola pikir dan pengetahuan dari aku, suamiku dan mantan-mantan suamiku mengenai keadilan gender atau peranan masing-masing sebagai suami ataupun istri atau umumnya laki-laki ataupun perempuan, sehingga menyebabkan ketimpangan-ketimpangan, terutama dalam berumah tangga yang memicu permasalahan dan menimbulkan korban, seperti pernikahan yang gagal dan kemudian menjadikan  anak terganggu psikisnya dan lain sebagainya.
Didalam islam, jika berumahtangga maka istri diwajibkan untuk taat kepada suami dan itu pun taatnya apabila dalam hal kebenaran, itu berarti suami tidak bisa seenaknya mengatur istrinya. Selanjutnya kekerasan dalam rumah tangga, islam tidak menganjurkan untuk melakukan kekerasan, melainkan apabila sang istri durhaka kepada suami dan sudah tidak mempan dinasehati dan diperingati untuk pisah ranjang maka dipukullah sang istri. Pukulan yang dimaksud adalah pukulan ringan yang tidak mengucurkan darah serta tidak dikhawatirkan menimbulkan kebinasaan jiwa atau cacat pada tubuh, patah tulang dan sebagainya sehingga. Pukulan ini bertujuan untuk mendidik, memperbaiki dan meluruskan. Lebih jelas diterangkan dalam Al-quran.
Selanjutnya mengenai poligami, secara syariah islam memang membolehkan poligami dengan syarat sang suami harus bersikap adil.  Dengan demikian maka secara syariat, ketika seorang suami berpoligami tanpa ijin dari istri pertama atau istri lainnya tetap sah. Namun, dalam rangka mewujudkan kemaslahatan keluarga, selayaknya setiap suami yang hendak berpoligami meminta ijin dahulu kepada istrinya karena seseorang tidak mungkin bisa bersikap adil ketika hubungan terhadap semua istrinya dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Pemisalan, ketika seorang suami melakukan poligami tanpa ijin dari istri pertamanya, kemudian timbul tuduhan dari masyarakat bahwa istri keduanya merebut suami orang atau terjadi teror kepada istri kedua dari istri pertama atau kerabatnya. Lalu kapan kemaslahatan dan atau keadilan keluarga tercipta, bukankah dalam berpoligami harus adil.
Islam sebagai agama yang sempurna, tetap memperhatikan martabat wanita. Islam memberikan hak kepada wanita untuk menuntut suami agar menunaikan hak dan kewajibannya. Termasuk para istri dalam naungan poligami, mereka punya hak untuk menuntut suami bersikap adil dan memberikan materi yang memenuhi standar kelayakan. Jika tuntutan yang menjadi hak pokok istri ini tidak dipenuhi, istri berhak melakukan gugat cerai.
Mendengar dan memahami jawaban ustazah, aku mendapat pencerahan yang teramat luar biasa. Aku berusaha memperbaiki diri agar tidak jatuh kedalam lubang yang sama, kemudian pelan-pelan aku membuat keputusan dalam menyelesaikan masalah-masalahku, terutama mengenai pernikahanku bersama Mas Irwan. Tiada malam yang terlewatkan dari bertahajud dan beristikharah, kehidupanku semakin tenang.
Aku menghubungi Mas Irwan untuk bertemu. Setelah kami bertemu, kami saling menanyai kabar dan meminta maaf. Kemudian aku meminta Mas Irwan untuk menceraikanku, dia pun teramat kaget dan menolak keras permintaanku. Aku terus meyakinkan dia, karena ini untuk kebaikan semuanya. Tapi dia mengatakan bahwa istri pertamanya sudah mengajukan gugatan perceraian, akupun merasa semakin bersalah karena aku telah menjadi duri dalam kebahagian keluarga mereka. Meskipun demikian, hal ini pun tak menggoyahkanku untuk berpisah dengan Mas Irwan, sebisa mungkin aku harus memperbaiki kesalahanku dan bertanggungjawab atas itu.
Tiga hari setelah pertemuan itu, aku dan Mas Irwan pun resmi bercerai. Setelah itu, aku langsung menemui istri Mas Irwan, aku meminta maaf padanya namun dia menghiraukan aku. Aku berkata kepadanya bahwa aku dan Mas Irwan sudah bercerai dan aku harap dia dan Mas Irwan kembali bersama, dia menjawabku bahwa aku sudah seenaknya memasuki kehidupan mereka dan setelah mengambil keharmonisan mereka, sekarang aku mengembalikan Mas Irwan seenaknya seolah ingin mengejeknya, sungguh tidak tahu malu, dasar pelacur dan perebut suami orang. Mendengar jawabannya, air mataku mengalir tak terbendung lagi. Semoga saja rasa sakit ini menjadi pelebur dosaku, Aamiin!
Dua tahun berlalu, kini hari-hariku ku isi dengan bekerja dan diakhir pekan kugunakan untuk bersosialisasi dan berbagi ilmu bersama ustadzah mengenai pendidikan wanita dan keadilan gender dimulai dari lingkunganku hingga sekarang sudah mencapai kebeberapa daerah. Karena aku sadar betul akan pentingnya pengetahuan dan pola pikir ini bagi laki-laki dan perempuan, agar tidak terjadi kembali kesalahan dan korban Trisa-trisa lain dimasa depan.
Disuatu akhir pekan, aku tidak bisa ikut ustadzah untuk bersosialisasi dan berbagi ilmu karena kondisiku sedang tidak sehat. Beberapa hari ini, pikiranku teralihkan oleh Irna, aku sangat merindukannya dan aku takut terjadi sesuatu yang buruk terjadi kepadanya. Tiba-tiba aku merasakan rangkulan seseorang dari belakang, aku sangat terkejut karena sosok yang ada dihadapanku sekarang. Irna, anakku. Tanpa ada kata, kami berpelukan erat dan menangis bersama.
Irna kembali kerumah karena ayahnya tidak mengijinkannya untuk kuliah, ayahnya berpandangan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya akan menjadi istri yang harus mengikuti apa kata suami dan ayahnya takut Irna menjadi seperti aku. Pola pikir ayahnya masih saja seperti dulu.

Irna sudah mengetahui apa yang terjadi terhadapku selama dia pergi, dia berkata menyesal telah meninggalkanku dan membiarkanku menghadapinya sendiri. Tapi itulah hidup, segala sesuatunya berperoses dan tanpa terduga akhirnya. Kini Irna pun sudah kuliah dan kembali menjadi anak yang ceria dan kuat, aku sangat menikmati anugrah ini. Dan aku mendengar Mas Irwan rujuk bersama istrinya, alhamdulillah yaa Allah akhirnya perlahan kupecahkan dan kutempatkan potongan-potongan puzzle ketempatnya, melalui keadilan gender. 
THE END ^_^

Rabu, 30 Maret 2016

Curhat

Assalamualaikum wr. wb.
Bissmillah.
Hampir memasuki bulan ke empat di tahun 2016, aku baru sempat membuka blogg dan membisikkan sebagian ceritaku hehe awal bulan 2016 ini aku lumayan disibukkan beberapa kegiatan, mulai dari kuliah, UAS semester 5, Ujian saringan Sensus Ekonomi 2016, Sekolah Islam Gender (SIG), Pelantikan dan upgrading DEMA, Pemilihan Mawapres, Santri Siap Guna (SSG), mempersiapkan produk untuk acara Gelar Produk, tugas-tugas kuliah dan kegiatan lainnya. Meski cukup menyita waktu, tenaga dan saku tentunya, aku sangat bersyukur atas kegiatan-kegiatan tersebut karena banyak hal yang kupelajari dan kuambil hikmah dari sana.
Hari ini posisiku dikampus, dari rumah sih niatnya sambil nunggu jam piket sama jam kuliah datang aku mau isi dengan mengerjakan tugas eh malah nemu wifi jadi belok ke blogg ini dan alhasil coret-coret di blogg ini hehe.
Rencananya tanggal 3 April 2016 besok, aku akan hadir diacara gelar produk yang bertempat di Gasibu, seneng sih tapi badan malah kerasa kurang fit. Sayang sungguh sayang tanggal tiga itu bentrok sama SSG, padahal rencannanya diklat besok mau belajar memanah dan berkuda. Tapi aku memutuskan untuk mengikuti gelar produk karena selain kesempatan ini langka, aku juga melihat peluang untuk mempromosikan produk karyaku. Mudah-mudahan saja menjadi salah satu jalan agar usahaku sukses, meskipun dengan berat hati mengesampingkan diklat SSG ;( semoga ini keputusan terbaik! aamiin yaa Rabb!
Mengingat tugas, membuatku harus berhenti dulu berbisik kisahku disini. Sekian dulu yaa :) keep spirit!!!
Wassalam!