Assalamualaikum!!
Kali ini, aku mau berbagi cerita
melalui cerita pendek yang judulnya “puzzle”. Berasa kurang nyambung sih judul sama
ceritanya, tapi bingung mau ngasih judul apa hihi tapi boleh dibaca laah, kalo
penasaran sama hikmah ceritanya. Aku membuat cerpen ini terinspirasi dari kisah
nyata, dan kemudian ada tugas untuk membuat cerpen, alhasil seperti inilah
jadinya.
PUZZLE
Bruuuk, suara gayung jatuh ke lantai yang tersenggol
tanganku, membuatku tersentak dan sadar bahwa ini bukan mimpi. Lima test pack dengan merk yang berbeda di
hadapanku ini, semuanya menunjukan dua garis yang mengartikan bahwa aku positif
hamil. Sudah dua bulan ini aku tidak datang bulan, tapi aku pikir ini bukan
hamil, karena siklus datang bulanku tidak teratur. Apa yang harus aku lakukan,
bagaimana cara aku memberitahu anak dan keluarga besarku ketika dalam kondisi
seperti ini.
Hampir enam bulan ini aku menikah
siri dengan Mas Irwan, tapi tidak ada seorang pun dari keluarga besarku yang
tahu atas pernikahan ini termasuk Irna anakku sendiri. Karena aku tahu mereka
tidak akan pernah menyetujui pernikahan ini. Apalagi ini merupakan pernikahan
yang keempat kalinya bagiku.
Dengan latar belakang tiga kali
gagal dalam membina rumah tangga, awalnya aku tidak berfikir untuk menikah lagi
karena diketiga pernikahanku itu selalu aku menjadi pihak yang tersakiti. Tapi
bertemu Mas Irwan, aku merasa dicintai dengan sepenuh hati, dia memperhatikanku
bahkan dari hal terkecil dan hal terpenting dia sangat pengertian atas segala
sesuatu tentangku, dari mulai kasih sayang, sikapku yang belum dewasa juga
kebutuhan keuangan yang lebih dari cukup. Hanya satu hal yang harus aku terima
dan mengerti dari Mas Irwan, waktu yang dia berikan untukku tidak intens karena
dia memiliki istri dan anak-anak. Dan mereka pun tidak tahu akan pernikahan
kami.
Kami tak pernah memiliki waktu wajarnya
pasangan suami istri, aku pun tak pernah mempermasalahkannya. Kami hanya bertemu
ketika saling rindu, itupun tidak pernah bertemu dirumah. Kami biasanya
menghabiskan waktu bersama dengan alasan pekerjaan kepada orang rumah.
Pernikahanku kali ini 180 derajat
berbeda dengan ketiga pernikahanku sebelumnya. Pada pernikahan pertama, aku
menikah dengan seorang guru. Pada awal pernikahan aku dilarang untuk kerja, aku
pun menurut demi rumah tangga kami, tapi semakin lama aku semakin sulit untuk
pergi kemanapun termasuk menemui orangtuaku. Aku hanya menghabiskan waktu
dirumah, melayaninya dari mulai dia bangun sampai tidur. Aku layaknya pelayan
bagi dia. Hal yang paling menyakitkan dan tak bisa aku terima dari mantan suamiku yang pertama itu, ketika
dia melarang aku menengok ayahku yang tengah sakit dan kemudian meninggal,
hingga aku tak bisa menemani sakaratul mautnya. Aku tidak tahan lagi, dan aku
menggugat cerai. Akhirnya kami bercerai dan hak asuh anak kami Irna jatuh
ketanganku.
Pada pernikahan kedua, aku fikir itu
adalah pernikahan terakhirku. Tapi takdir berkata lain, rumah tanggaku tidak
lebih baik dari yang pertama. Mantan suamiku yang kedua banyak melakukan
kekerasan terhadapku, pada awalnya aku bertahan karena aku percaya dia akan
berubah menjadi lebih baik. Namun pada akhirnya aku tak bisa bertahan lagi
karena prilakunya semakin menjadi, dia berjudi, mabuk dan melakukan kekerasan tak
hanya padaku tapi juga pada anakku Irna, kami pun bercerai.
Aku tak berfikir untuk menikah lagi,
karena aku cukup trauma dengan kedua pernikahanku yang gagal. Aku tak mengerti,
apakah ini takdir atau nasib. Aku selalu menjadi korban dari ketidakadilan dan
ketidakbebasan dari laki-laki yang egois, tak hanya itu, akibat kegagalan rumah
tanggaku aku mendapat pelabelan negatif seperti Trisa si tukang kawin dan istri
pembangkang dari orang-orang sekitar rumah. Pernah suatu waktu, ketika aku
sedang membersihkan mobilku dihalaman rumah, aku mendengar ibu-ibu yang sedang
membicaraan hal negatif tentangku sambil berbelanja sayuran di roda Mang Imin,
tukang sayur dikomplek, aku hanya mengelus dada saja. Namun, yang paling
membuatku sakit adalah ketika anakku tak memiliki teman dekat yang bisa dia
ajak curhat atau main diusianya karena setelah perceraianku dia menjadi berkarakter
penyendiri dan pendiam.
Ditengah keterpurukanku akan
kejadian-kejadian tersebut, Pak Bumi manajerku dikantor selalu memotivasiku
untuk bangkit. Akhirnya kami pun bersahabat baik dan selalu sharing. Aku sangat kagum dengan
kekuatan cintanya pada almarhumah istrinya, sudah hampir tujuh tahun dia
menduda dengan dua anak laki-laki yang dia besarkan seorang diri. Namun, entah
kapan percikan cinta diantara kami tumbuh, tiba-tiba dia melamarku dan kami pun
menikah, meskipun pada awalnya sebagian keluarga besar tidak setuju karena
perbedaan usia yang cukup jauh diantara kami yakni selisih 27 tahun. Bahkan
kakakku berkata dengan kasarnya,
bahwasanya
aku lebih cocok jadi anaknya ketimbang jadi istrinya. Namun ibuku merestui,
sehingga aku yakin terhadap Pak Bumi. Diusia pernikahan kami yang ketujuh
bulan, ketika keluarga sakinah kurasakan bersamanya, dia meninggal, yang dua
hari kemudian disusul oleh ibuku. Aku begitu marah pada Allah, kenapa Dia
merenggut kebahagiaanku. Aku begitu terpuruk.
Sepeninggal suamiku, aku tinggal
dirumah bersama Irna dan kedua anak tiriku dari pernikahanku bersama Pak Bumi.
Kami memiliki hubungan yang baik, karena memang anak-anak sangat mendukung
pernikahanku dengan Pak Bumi. Mereka pun sepakat untuk tinggal bersamaku,
meskipun Pak Bumi sudah tidak ada. Namun setelah beberapa bulan, keluarga besar
dari Pak Bumi datang kerumah, mereka meminta kedua anak tiriku dan harta
peninggalan Pak Bumi. Pada awalnya kedua anak tiriku menolak, karena memang
kami memiliki hubungan bagaikan ibu dan anak kandung. Tapi entah apa yang
mereka katakan terhadap kedua anak tiriku, akhirnya kedua anak tiriku mau ikut bersama
mereka dengan harta peninggalan Pak Bumi yang sebelumnya dibagikan dulu
denganku. Dalam pembagian warisan itu, untuk mencegah terjadinya percekcokan,
kami berkonsultasi dengan Mas Irwan yang merupakan seorang tokoh agama dan juga
merupakan relasi Pak Bumi sewaktu masih hidup. Disitulah pertemuan pertamaku
bersama Mas Irwan.
Hari demi hari ku lalui hanya dengan
bekerja dan mengurusi putriku, hari-hariku terasa hampa setelah kejadian yang
menimpaku itu. Hingga disuatu hari aku mendapat rekomendasi dari atasanku untuk
menjadi calon manajer keuangan dikantor, aku pun kaget dan bahagia. Karena
sejauh ini dikantor tidak pernah ada manajer perempuan, aku bertanya kepada
atasanku kenapa beliau menunjukku sebagai salah satu kandidatnya. Beliau
menjawab karena aku memiliki kemampuan yang unggul dan tidak kalah saing dengan
karyawan lelaki, selain itu perempuan juga memiliki hak yang sama dengan lelaki
untuk menjadi pemimpin. Bahkan beliau menceramahiku dengan beberapa ayat
Al-Quran mengenai kepemimpinan perempuan.
Proses penentuan manajer keuangan pun
berlangsung cukup sengit, dan akhirnya aku pun terpilih. Semingggu setelah itu,
diadakan pelantikan. Pada proses pelantikan itu, aku bertemu Mas Irwan yang
ternyata dia pun
dilantik
pula sebagai manajer personalia dikantor. Kami sama-sama terkejut dan saling
mengucapkan selamat satu sama lain. Dan mau tidak mau, kami pun menjadi sering
bertemu, baik dalam acara rapat maupun kerjasama dalam penerimaan karyawan baru
di divisi keuangan. Pada awanya, kami sebatas profesional kerja. Tapi, karena
pertemuan dan kerjasama kami semakin intens, kami pun menjadi akrab dan sering sharing bahkan tentang masalah pribadi, hingga
akhirnya timbul rasa nyaman satu sama lain. Kami pun saling tahu dan mengerti
latar belakang kami masing-masing, dan kami memutuskan untuk menjadi lebih dari
sekedar rekan kerja. Kami sering keluar berdua dan akhirnya sepakat untuk
menikah secara diam-diam karena memang kondisi kami yang tidak mendukung.
Sekarang, aku tersandung buah dari apa
yang aku tanam. Masalah yang rumit, bahkan baru kali ini aku tidak tahu apa
yang harus aku lakukan. Ketakutan-ketakutan muncul dikepalaku, hal yang paling
aku takuti adalah Irna, aku takut dia tidak bisa menerima kenyataan ini.
Anakku, keluargaku, pekerjaan, bagaimana aku mengatasi ini, karena aku sadar
betul bahwa perutku semakin lama akan semakin membesar. Ini adalah hal yang tak
bisa kututupi lagi.
Aku segera menghubungi Mas Irwan dan
mengabari hal ini, dia malah senang akan kehamilanku. Dan aku pun marah,
bagaimana bisa dia senang sedang aku dalam masalah. Dia pun menenangkanku, dia
berkata bahwa anak kita ini anak sah, bukan anak haram jadi tidak perlu
membesar-besarkan masalah ini. Bukannya tenang, amarahku malah semakin meledak.
Bagaimana bisa dia berkata begitu dengan mudahnya, dia tidak akan menanggung
malu karena perutku yang akan membesar bukan perutnya.
Handphoneku berdering semalaman, entah berapa
kali Mas Irwan menelponku. Aku tak ingin mengangkatnya, akupun memutuskan untuk
tidak masuk kerja pada hari itu. Irna bertanya kepadaku apa aku sakit, aku
hanya menjawab tidak enak badan. Tadinya dia tidak akan sekolah karena ingin
merawatku, tapi aku melarangnya dengan alasan aku hanya perlu istirahat dan dia
tidak perlu khawatir. Seperginya Irna sekolah, tak hentinya aku menangis.
Maafkan mama Irna, mama bukan Ibu yang baik.
Aku mendengar suara mobil didepan
rumah, ternyata Mas Irwan yang datang. Dia langsung memelukku dan meminta maaf,
aku menangis sejadi-jadinya dipelukannya. Setelah tangisanku mereda, Mas Irwan
memasak dan menyuapiku, karena dia sangat tahu betul ketika aku dalam masalah
aku tidak ingat makan. Baru beberapa suap makan, aku pun muntah. Mas Irwan pun
membersihkan makanan yang berserakan dan muntahanku.
Akupun istirahat ditempat tidur, Mas
Irwan pun tetap disampingku. Dia berkata bahwa kita harus jujur kepada anak dan
keluargaku akan pernikahan kita, dan aku pikir itulah yang terbaik. Kami pun
langsung mendatangi keluargaku dan mengatakan semuannya, keluargaku pun sangat
kaget dan marah, aku dan Mas Irwan minta maaf kepada mereka atas
ketidakdewasaan kami. Bruuuuk, tiba-tiba
suara sesuatu terjatuh dibalik pintu, kami memeriksanya dan ternyata Irna
pingsan karena mendengar pembicaraan kami. Hatiku sangat sakit melihat anakku
terbaring pingsan karena ulahku, tak hentinya aku menangis. Kurang lebih
setengah jam akhirnya Irna sadar, aku minta maaf kepadanya, dia tidak meresponiku
dan hanya diam.
Keesokan harinya, aku kekamar Irna dan
aku melihat makanan yang semalam kusimpan dimeja belajarnya masih utuh. Aku
menyuruhnya sarapan pun dia tak menanggapiku dan langsung berangkat sekolah,
hatiku begitu sakit. Setelah Irna berlalu dari pandanganku, aku pun pergi
kekantor dengan air mata yang tak hentinya mengalir.
Hari ini aku langsung pulang kerumah.
Setibanya dirumah, aku mendapati mantan suami pertamaku yang tidak lain adalah
ayah Irna. Dia berkata akan membawa Irna tinggal bersamanya, aku pun tak
mengijinkannya. Dia marah besar, dia mencaciku sebagai ibu yang tidak becus dan
langsung mengajak Irna pergi, aku menahan Irna dan memegangi tas Irna yang
berisi pakaian dan barang-barang lainnya yang telah Irna persiapkan, tapi Irna
mengatakan ingin tinggal bersama ayahnya. Ayah Irna langsung membawa Irna
pergi, Irna berlalu dari pandanganku. Akupun menangis sejadi-jadinya dengan
memeluk erat tas Irna yang sedari tadi tidak aku lepaskan.
Matakku begitu berat untukku buka,
melihat sekeliling ternyata aku berada dikamar Irna. Seperginya Irna aku tak
henti menangis, sampai tertidur dikamarnya. Tiba-tiba handphoneku berbunyi, ternyata Mas Irwan menelpon. Aku menyuruhnya
datang kerumah.
Setibanya Mas Irwan dirumah, aku menceritakan
kejadian tadi. Dia pun menenangkanku dan malam itu memutuskan menginap dirumah.
Saat keesokan paginya, aku berbelanja
sayuran di Mang Imin. Saat aku menghampiri roda Mang Imin, aku melihat pandangan
sinis ibu-ibu kompleks yang sama-sama sedang belanja dan langsung diam ketika
aku datang, mungkin mereka sedang membicarakanku. Namun, pikirku semakin
khawatir kepada Irna, aku takut Irna mendapat perlakuan seperti ini dari
teman-teman disekolahnya. Jaga diri baik-baik Irnaku sayang, maafkan mamah.
Aku berkali-kali menelpon dan sms Irna,
dia tidak mengangkat telponku juga tidak membalas smsku. Aku semakin khawatir
kepadanya. Aku pun memutuskan mendatangi sekolahnya tapi pihak sekolah
mengatakan bahwa Irna pindah sekolah, tanpa pikir panjang aku langsung mendatangi
rumah ayah Irna. Setibanya dirumah ayah Irna, ternyata rumahnya sudah dijual
dan mereka sudah pindah rumah juga.
Setiap hari aku menghubungi nomor Handphone Irna selalu tidak aktif. Aku
bertanya pada teman-teman Irna, tidak ada yang mengetahui baik nomor Handphone atau pun alamat barunya. Baru
kali ini aku merasakan hatiku sesakit ini, anakku Irna tidakkah kamu merindukan
mamah, apa ini cara kamu menghukum mamah. Irnaku ampuni mamah..
Mas Irwan semakin sering menginap dirumah,
mungkin karena dia khawatir dengan kondisiku. Menginjak bulan ketujuh usia
kandunganku, aku memutuskan untuk cuti dari kantor karena kondisi kehamilanku
semakin lemah sebagai akibat dari stress berat. Bagaimana tidak, aku ditinggal
anakku dan sampai saat ini aku tidak mengetahui keadaannya. Hingga disuatu
hari, aku menemukan Handphone ketika
aku beres-beres dirumah. Yang tidak lain itu adalah Handphone milik Irna, dan selama ini aku menghubungi Handphone yang berada dirumah. Handphone itu mati, aku langsung mengcharger Handphone itu.
Kaget bukan main, ketika aku membaca
pesan masuk yang ada di Handphone itu.
Pesan itu berisi makian terhadap aku dan Irna, dikatakannya buah tidak akan
jatuh jauh dari pohonnya, ibunya perusak rumah tangga orang lain dan perebut
suami orang maka anaknya pun akan tumbuh seperti itu. Aku langsung terkulai
lemah dilantai, anakku Irna maafkan mamah, beban kamu terlalu berat dan tak
seharusnya beban itu kamu pikul nak, kamu mendapat getah dari apa yang mamah
perbuat. Maafkan mamah sayang, sungguh ini diluar dugaan mamah, kenapa kamu
tidak ceritakan ini pada mamah nak?
Aku menceritakan hal tersebut kepada
Mas Irwan, dia pun langsung melacak nomor Handphone
tersebut. Ternyata nomor tersebut merupakan nomor Handphone salah satu karyawan kantor tempat kami kerja. Ketika
diselidiki, dia merupakan teman istri pertama Mas Irwan yang curiga akan
kedekatan aku dan Mas Irwan dan diam-diam menyelidiki kami. Setelah dia
mengetahui pernikahan kami, dia sengaja meneror anakku agar kami segera jujur
terhadap istri pertama Mas Irwan karena dia tidak tega kalau harus
mengatakkannya langsung kepada istri Mas Irwan.
Kondisiku semakin melemah, Mas Irwan
pun menelpon dokter untuk datang kerumah. Beberapa saat kemudian terdengar
suara ketukan pintu, dokternya sangat cepat, pikirku. Mas Irwan pun membuka
pintu, kemudian terdengar percekcokan yang disusul tangisan seorang perempuan.
Aku memaksakan diri keluar kamar untuk mengeceknya, ternyata yang datang adalah
istri pertama dan anaknya. Aku sangat terkejut. Mereka langsung mencaciku,
belum sempat aku menjawab tiba-tiba semuanya terlihat sangat gelap.
Saatku membuka mata, kulihat
sekeliling. Ternyata aku berada dirumah sakit. Mas Irwan menatapku hampa, aku
balas menatapnya dengan tatapan kosong sambil ku pegangi perutku. Ada yang
berbeda dengan perutku, “apa aku sudah melahirkan?” tanyaku pada Mas Irwan. Dia
menangis dan berbisik kepadaku bahwa anak kami telah meninggal dan sudah
dikebumikan dua hari yang lalu. Aku tercengang dan sekelilingku kembali
terlihat gelap.
Terdengar suara bercakap, aku pun
membuka mata. Ternyata kakak perempuanku dengan suster, mereka tengah membicarakan
perkembangan kondisiku. Aku memanggil mereka, dan mengatakan bahwa aku ingin
menenangkan diri dan tidak ingin bertemu dengan siapapun dulu termasuk suamiku.
Seminggu kemudian, aku diijinkan untuk
pulang. Dan selama itupun aku tidak bertemu dengan Mas Irwan, meskipun dia
setiap hari datang ke rumah sakit. Aku juga memohon kepada dokter untuk tidak
memberitahunya akan waktu kepulanganku dari rumah sakit. Aku pulang dijemput
keluargaku, tapi aku meminta mereka untuk mengantarkanku ke pemakaman anakku
dulu. Setibanya di pemakaman, aku menangis dan kembali tidak sadarkan diri.
Tidak terasa hampir sebulan ini aku
berada dirumah, aku mengirim sms kepada Mas Irwan agar dia tidak menemuiku dulu
hingga nanti aku sudah merasa siap. Tidak aku sangka semuanya akan seperti ini,
anak-anakku meninggalkanku. Mungkinkah ini hukuman untukku?
Tiada henti aku merenung akan kisah
hidupku, kucari akar dari permasalahan hidupku. Hingga aku berkonsultasi kepada
seorang ustadzah untuk mendapat jawabannya, kuceritakan kisah hidupku
kepadanya, dari mulai pernikahanku yang pertama sampai pernikahanku saat ini.
Beliau mengatakan bahwa aku merupakan korban sekalikus pelaku ketidakadilan.
Aku tidak mengerti apa yang dikatakannya, aku pun meminta penjelasannya, tapi
beliau mengatakan untuk aku mencari jawabannya sendiri karena beliau meyakini
bahwa jika aku lebih tau akan diriku sendiri. Dan beliau menyarankan jika aku
sudah menemukan jawabannya untuk segera menemuinya kembali.
Pikirku bulak-balik memahami apa yang
ustadzah ucapkan, setelah aku menemukan titik dimana permasalahan itu muncul segera
aku menemui kembali ustadzah. Aku ungkapkan temuan jawabanku kepada beliau,
pada pernikahan pertama masalahku dimulai sejak mantan suamiku terlalu
protektif dan membatasi segala hal, pada pernikahan kedua masalahku dimulai
sejak mantan suamiku melakukan kekerasan terhadap aku dan Irna, pada pernikahan
ketiga aku merasakan kebahagiaan yang sebenarnya dan masalah justru muncul
ketika Allah mengambil suamiku, aku marah kepada Allah bahkan hingga sekarang
dipernikahan keempat aku masih merasakan amarah itu. Dan dipernikahan keempat
justru aku merasa banyak melakukan kesalahan, terutama kepada anak-anakku dan
Istri pertama beserta anak-anak Mas Irwan.
Ustadzah menjawab bahwa jawabanku
mendekati jawabannya, menurut beliau inti atau akar dari permasalahanku adalah
terletak pada pola pikir dan pengetahuan dari aku, suamiku dan mantan-mantan
suamiku mengenai keadilan gender atau peranan masing-masing sebagai suami
ataupun istri atau umumnya laki-laki ataupun perempuan, sehingga menyebabkan
ketimpangan-ketimpangan, terutama dalam berumah tangga yang memicu permasalahan
dan menimbulkan korban, seperti pernikahan yang gagal dan kemudian menjadikan anak terganggu psikisnya dan lain sebagainya.
Didalam islam, jika berumahtangga maka istri
diwajibkan untuk taat kepada suami dan itu pun taatnya apabila dalam hal
kebenaran, itu berarti suami tidak bisa seenaknya mengatur istrinya.
Selanjutnya kekerasan dalam rumah tangga, islam tidak menganjurkan untuk
melakukan kekerasan, melainkan apabila sang istri durhaka kepada suami dan sudah
tidak mempan dinasehati dan diperingati untuk pisah ranjang maka dipukullah
sang istri. Pukulan yang dimaksud adalah pukulan ringan yang tidak mengucurkan
darah serta tidak dikhawatirkan menimbulkan kebinasaan jiwa atau cacat pada
tubuh, patah tulang dan sebagainya sehingga. Pukulan ini bertujuan untuk
mendidik, memperbaiki dan meluruskan. Lebih jelas diterangkan dalam Al-quran.
Selanjutnya mengenai poligami, secara
syariah islam memang membolehkan poligami dengan syarat sang suami harus
bersikap adil. Dengan demikian maka
secara syariat, ketika seorang suami berpoligami tanpa ijin dari istri pertama
atau istri lainnya tetap sah. Namun, dalam rangka mewujudkan kemaslahatan
keluarga, selayaknya setiap suami yang hendak berpoligami meminta ijin dahulu kepada
istrinya karena seseorang tidak mungkin bisa bersikap adil ketika hubungan
terhadap semua istrinya dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Pemisalan, ketika
seorang suami melakukan poligami tanpa ijin dari istri pertamanya, kemudian
timbul tuduhan dari masyarakat bahwa istri keduanya merebut suami orang atau
terjadi teror kepada istri kedua dari istri pertama atau kerabatnya. Lalu kapan
kemaslahatan dan atau keadilan keluarga tercipta, bukankah dalam berpoligami
harus adil.
Islam sebagai agama yang sempurna,
tetap memperhatikan martabat wanita. Islam memberikan hak kepada wanita untuk
menuntut suami agar menunaikan hak dan kewajibannya. Termasuk para istri dalam
naungan poligami, mereka punya hak untuk menuntut suami bersikap adil dan
memberikan materi yang memenuhi standar kelayakan. Jika tuntutan yang menjadi
hak pokok istri ini tidak dipenuhi, istri berhak melakukan gugat cerai.
Mendengar dan memahami jawaban ustazah,
aku mendapat pencerahan yang teramat luar biasa. Aku berusaha memperbaiki diri
agar tidak jatuh kedalam lubang yang sama, kemudian pelan-pelan aku membuat
keputusan dalam menyelesaikan masalah-masalahku, terutama mengenai pernikahanku
bersama Mas Irwan. Tiada malam yang terlewatkan dari bertahajud dan
beristikharah, kehidupanku semakin tenang.
Aku menghubungi Mas Irwan untuk
bertemu. Setelah kami bertemu, kami saling menanyai kabar dan meminta maaf.
Kemudian aku meminta Mas Irwan untuk menceraikanku, dia pun teramat kaget dan
menolak keras permintaanku. Aku terus meyakinkan dia, karena ini untuk kebaikan
semuanya. Tapi dia mengatakan bahwa istri pertamanya sudah mengajukan gugatan
perceraian, akupun merasa semakin bersalah karena aku telah menjadi duri dalam
kebahagian keluarga mereka. Meskipun demikian, hal ini pun tak menggoyahkanku
untuk berpisah dengan Mas Irwan, sebisa mungkin aku harus memperbaiki
kesalahanku dan bertanggungjawab atas itu.
Tiga hari setelah pertemuan itu, aku
dan Mas Irwan pun resmi bercerai. Setelah itu, aku langsung menemui istri Mas
Irwan, aku meminta maaf padanya namun dia menghiraukan aku. Aku berkata
kepadanya bahwa aku dan Mas Irwan sudah bercerai dan aku harap dia dan Mas
Irwan kembali bersama, dia menjawabku bahwa aku sudah seenaknya memasuki
kehidupan mereka dan setelah mengambil keharmonisan mereka, sekarang aku
mengembalikan Mas Irwan seenaknya seolah ingin mengejeknya, sungguh tidak tahu
malu, dasar pelacur dan perebut suami orang. Mendengar jawabannya, air mataku
mengalir tak terbendung lagi. Semoga saja rasa sakit ini menjadi pelebur
dosaku, Aamiin!
Dua tahun berlalu, kini hari-hariku ku
isi dengan bekerja dan diakhir pekan kugunakan untuk bersosialisasi dan berbagi
ilmu bersama ustadzah mengenai pendidikan wanita dan keadilan gender dimulai
dari lingkunganku hingga sekarang sudah mencapai kebeberapa daerah. Karena aku
sadar betul akan pentingnya pengetahuan dan pola pikir ini bagi laki-laki dan
perempuan, agar tidak terjadi kembali kesalahan dan korban Trisa-trisa lain
dimasa depan.
Disuatu akhir pekan, aku tidak bisa
ikut ustadzah untuk bersosialisasi dan berbagi ilmu karena kondisiku sedang
tidak sehat. Beberapa hari ini, pikiranku teralihkan oleh Irna, aku sangat
merindukannya dan aku takut terjadi sesuatu yang buruk terjadi kepadanya.
Tiba-tiba aku merasakan rangkulan seseorang dari belakang, aku sangat terkejut
karena sosok yang ada dihadapanku sekarang. Irna, anakku. Tanpa ada kata, kami
berpelukan erat dan menangis bersama.
Irna kembali kerumah karena ayahnya
tidak mengijinkannya untuk kuliah, ayahnya berpandangan bahwa perempuan tidak
perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya akan menjadi istri yang harus
mengikuti apa kata suami dan ayahnya takut Irna menjadi seperti aku. Pola pikir
ayahnya masih saja seperti dulu.
Irna sudah mengetahui apa yang terjadi
terhadapku selama dia pergi, dia berkata menyesal telah meninggalkanku dan
membiarkanku menghadapinya sendiri. Tapi itulah hidup, segala sesuatunya
berperoses dan tanpa terduga akhirnya. Kini Irna pun sudah kuliah dan kembali
menjadi anak yang ceria dan kuat, aku sangat menikmati anugrah ini. Dan aku
mendengar Mas Irwan rujuk bersama istrinya, alhamdulillah yaa Allah akhirnya
perlahan kupecahkan dan kutempatkan potongan-potongan puzzle ketempatnya,
melalui keadilan gender.
THE END ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar