Kamis, 25 Agustus 2022

Daun Jatuh 🍃

Tidak lagi sama caraku memandang luka, kini aku bukan sipaling luka, sipaling sakit, sipaling korban atau sipaling-sipaling lainnya yang menjadikanku simental korban. Belajar dari daun jatuh yang tidak melawan alam, tumbuh secara natural meski pada masa hidupnya diterpa hujan, panas, hama dan diombang-ambing angin yang pada akhirnya cepat atau lambat daun itu jatuh ke bumi dengan indah entah dalam keadaan yang masih segar atau sudah kering yang walaupun demikian daun jatuh tidak menjadikan dirinya sebagai korban dan tidak menyalahkan ranting, hujan, panas, angin, hama atau hal lainnya yang menyebabkannya jatuh, tapi daun jatuh memberikan kesempatan kepada daun baru untuk tumbuh meski akhirnya akan bernasib sama yakni kembali ke bumi. Sama halnya dengan kehidupan manusia, selama hidup sudah pasti akan ada banyak hal yang harus dijalani bagaimanapun kondisinya. Jatuh lalu merasa sakit, sakit lalu menangis. Ini wajar, ini tidak melawan alam. Karena memang naturalnya begitu, sakit dan menangis bukan berarti lemah, yang menjadi tidak wajar adalah ketika berlebihan atau melawan terhadap perasaan itu dengan berpikir dan melakukan hal yang pada akhirnya membuat diri tidak tumbuh. Misal dengan menyalahkan diri/orang lain terus menerus tanpa ada upaya perbaikan diri. Padahal solusinya sesederhana penerimaan atas rasa sakit itu lalu berdamai dengannya dan mengobatinya dengan berfokus pada hal yang ada dalam kontrol diri, tapi tetap saja pada praktiknya tidak semudah itu ya gais ya (akupun masih melatih diri, lah curcol wkwk). Mengingat ujung dari semua dinamika kehidupan ini adalah kembali ke bumi, seperti daun jatuh kembali ke bumi. Hidup tidak melawan alam bukan berarti hidup pasrah dengan kondisi yang ada tanpa mau berusaha lebih baik atau tidak mau menyelesaikan masalah (dengan dalih NGALIR AJA), tapi hidup yang selaras dengan alam merupakan suatu cara atau proses hidup dengan menggunakan nalar bahwa apa yang terjadi dalam hidup ada keterikatan (sebab akibat). Dalam prosesnya ada banyak hal yang diluar kendali dan didalam kendali, apapun bisa terjadi. Sebagai manusia biasa kita semua sama diberikan nalar, bagaimana suatu hal terjadi kemudian dicerna menggunakan sebaik-baiknya nalar karena itulah yang menjadi dasar bagaimana kita bersikap dan mengontrol diri terhadap suatu hal.

Kamis, 04 Agustus 2022

Keputusan dan Konsekuensi

Aku tidak tahu kenapa akhir-akhir ini aku bertemu dengan orang yang bercerita tentang keluarganya atau yang minta sudut pandangku tentang yang terjadi dengan keluarganya, yang tidak jarang membuatku berpikir dan merenungkannya. Semuanya merasa benar menurut versinya, semuanya punya penjelasan/alibi terhadap apa yang terjadi. Lalu kenapa aku yang pusing ya ketika mendengarnya? Wkwk. Entah lah, it's not mybussines. Tapi ya aku berusaha memberikan sudut pandang seobjektif mungkin, JIKA DIMINTA (Padahalkan aku belum berpengalaman menikah, sotoy lu nis wkwk). Tapi jadi pendengar yang baik aja sebenernya udah cukup dari pada menjudge dan memberikan pandangan yang salah atau bahkan malah memprovokasi. Kadang mereka hanya perlu didengar aja kok (ini pengalamanku saat ada masalah) sebagai orang yang cukup tertutup dan kadang juga butuh orang untuk bicara dan didengar, aku pernah diberi respon dari lawan bicaraku yang pada akhirnya malah di judge, diprovokasi dan bahkan disudutkan karena pikiran dan mentalku yang sedang sakit (padahal aku ga minta saran) dimana saat-saat seperti itu aku merasa cukup didengar dan dimengerti aja, tapi yang aku dapat sebaliknya. Sampai aku berpikir, salah nih gue ngomong sama dia, emang paling bener udah dipendem aja, GA ADA YANG NGERTI. Tapi setelah melalui beberapa hal dan mendengar curhatan orang lain, akhirnya aku sadar (meskipun belum sepenuhnya wkwk) bagaimana diriku, apa yang aku mau dan bagaimana memperlakukan orang saat aku menghadapi situasi seperti itu. Kembali ke laptop, ada orang yang curhat padaku bahwa dia menyesal karena terburu-buru menikah, padahal dulu pas dia mau nikah dia sempet bilang "ayo nikah, cewe mah keburu expired" (nadanya becanda) dan aku pun menanggapinya becanda. Aku yakin dia ga bermaksud menyakitiku dengan ucapannya tapi mengingat sekarang dia bilang menyesal, aku jadi teringat masa lalu. Hayo loh sekarang aja lu bilang nyesel buru-buru nikah dulu bilang expired (tapi ngomong dalam hati aja wkwk), mana tega bilang gitu menghadapi mimiknya yang runyem gitu sepaket curhatan permasalahan rumahtangganya. Semua keputusan sepaket dengan konsekuensinya, gitupun dengan aku yang belum menikah ada konsekuensinya juga. Dari eksternal ditanyain mulu lah, dijudje lah, diomonginlah dan lainnya. Pun dari internal (dalam diri) juga ada konsekuensinya, mengontrol perasaan dan respon, sometime perlu hal yang hanya bisa dilakukan dalam ikatan pernikahan (bukan tentang seks melulu woy, ngeres lu) dan lainnya. Tapi dari pengalaman dan curhatan orang lain pun kadang aku merasa bersyukur (bukan bersukur karena mereka ditimpa masalah), tapi bahwa aku ga perlu merasa jadi orang yang paling sakit bahkan paling diuji, bahwa aku dulu yang pernah ingin nikah muda (ada angka usia wkwk) tapi aku tidak menikah diusia itu yang dimana pikiran mentalku sedang bener-benar sakit, rusak dan salah kaprah yang pastinya akan berpengaruh dalam aku merespon dan menyikapi suatu permasalahan yang dimana dalam rumah tangga akan lebih banyak lagi variabel yang mau tidak mau akan mempengaruhi pertimbangan dalam pengambilan keputusanku. Ga semua konsekuensi dalam situasi selalu buruk dan ga semua konekuensi dalam situasi selalu baik, tapi mau bagaimanapun caramu menyikapinya akan berpengaruh pada keputusan dan konsekuensi lain kedepannya. Keliru atau kurang tepat mengambil keputusan ga selalu buruk kok, karena akan ada peluang lain didalamnya dan kalo kamu mau belajar dari setiap prosesnya kamu tidak akan jatuh kelubang yang sama dan pelan-pelan terakumulasi menjadi pribadi yang semaikin oke dan mantap. Menurutku idealnya begitu wkwk