Bisikan Jemari adalah salah satu media untuk membisikan suara hati, suratan pikiran, siratan emosi dan pengalaman hidup seorang pembelajar 🍃
Selasa, 31 Desember 2024
Jumat, 20 Desember 2024
Tunas
Janji manis yang memahit itu perlahan hambar
Rindu dibalik kecewa itu perlahan hilang
Keras hati itu berujung pilu
Berjeda hingga retak dan berjarak
Layakkah disesali?
Jika jeda itu memberi ruang dan waktu
Menumbuhkan tunas-tunas baru
Menari bersama angin
Luka itu masih disana
Bersama masa yang telah usang
Mari sudahi disini
Bersama masa depan yang terang
Rabu, 04 Desember 2024
Stasiun
Entah berapa lama lagi aku disini
Entah apa yang kutunggu
Hingga maju tak bisa, mundur tak mau
Sudah terlalu jauh untuk kembali
Sudah tidak ada tujuan untuk maju
Sudah terlalu lama di stasiun ini
Aku harus bagaimana?
Aku melewatkan beberapa kereta
Aku terlalu takut untuk ambil resiko
Atau mungkin tuhan menyelamatkan kereta itu dariku
Agar bertemu manusia lain yang takkan menyiakannya
Jumat, 29 November 2024
Yang Ternyata
Yang masih tersisa
Perdebatan antara aku dan diriku
Perbedaan antara hati dan pikiranku
Pergolakan antara perasaan dan logikaku
Pergumulan antara jiwa dan ragaku
Yang masih tentang
Kecewaku terhadap pilihanmu
Marahku terhadap sikapmu
Benciku terhadap ingkarmu
Rinduku terhadapmu
Yang ternyata
Kita sudah tak lagi saling sapa
Kita sudah tak lagi saling temu
Kita sudah tak lagi saling tengkar
Kita sudah tak lagi saling ...
.
Kamis, 21 November 2024
Bukan Untuk Kamu!
Bahkan saat kamu tau akan menyesalinya, kamu tetap melakukannya.
Dan konyolnya aku tetap bertahan, tapi kali ini aku memutuskan untuk tidak lagi bertahan dirasa sakit yang terbiasa.
Aku pikir kamu tempat yang aman, sehingga segala yang tak bisa kuceritakan pada orang lain kuceritakan padamu. Nyatanya kamu yang tidak nyaman dengan ceritaku, makanya kamu pergi kan? Hehe
Sabtu, 09 November 2024
Dariku Untuk Diriku
Kenapa aku diperlakukan seperti ini? tanya yang sampai saat ini masih muncul dikepalaku. Memang tidak selalu, ada kalanya kepalaku tenang. Tapi ketika ada pemicu, pertanyaan itu muncul lagi dan parahnya aku bisa lebih overthinking. Awalnya kupikir aku sudah berdamai, tapi jiwa dan ragaku masih bereaksi sebaliknya.
Beberapa hal tidak melulu berjalan sesuai rencana dan bahkan hal yang tidak disangka terjadi begitu saja, konyolnya aku masih mempertanyakan diri ini karenanya. Ada hal yang bernama takdir, yang sudah jelas tidak bisa kukendalikan. Ada hal yang bernama pilihan, yang berarti pilihan itu adalah keputusan dari kendaliku. Rasanya tidak tepat aku menyalahkan takdir ataupun menyalahkan diri sendiri karena keputusan yang ku ambil berakibat pada beberapa hal yang berharga bagiku keluar dari lingkaran hidupku. Lalu salah siapa? Tidak ada yang salah, hanya saja takdir atau pilihan itu memang belum beruntung (beruntung dalam artian persiapan dan kesempatan yang belum bertemu).
Pernah hampir gila karena menyaksikan hal yang seharusnya aku tidak tahu, atau mungkin perbuatan itu yang tidak layak terjadi. Pernah mendapat perlakuan yang membuat diri merasa tidak layak, atau mungkin itu petunjuk bahwa yang memberi perlakuan itu memang tidak layak dihiraukan. Atau mungkin aku yang secara tidak sadar mengijinkan hal itu terjadi, sehingga mereka seenaknya dan egois. Tapi apapun kenyataannya, harusnya aku tidak larut dalam rasa sakit itu, tidak memperparah dengan terus memikirkannya, harusnya aku punya batasan.
Mempertanyakan diri adalah hal yang cukup melukai harga diriku, merasa tidak layak, merasa tidak cukup, merasa tidak berarti dan perasaan negatif lainnya yang akhirnya membuatku sibuk dengan pikiran yang tidak perlu. Padahal alangkah lebih baiknya waktu dan pikiran itu aku gunakan untuk hal yang membuatku tumbuh. Tapi mulai sekarang, atau mungkin sudah beberapa waktu terakhir ini aku sudah berkeputusan, aku akan memperlakukan diriku dengan layak, dimulai dengan menyadari bahwa aku layak, aku sembuh, aku sehat, aku tenang, aku bahagia, aku sugih aamiin haha pastinya aku akan memperlakukan diriku dengan lebih baik. Aku akan mencintai diriku sebagaimana aku ingin dicintai, pun aku aku akan menghargai diriku sebagaimana aku ingin dihargai, karena aku layak mendapatkannya, utamanya dariku untuk diriku.
Minggu, 16 Juni 2024
Tiba-tiba Mai
Sabtu, 20 April 2024
'Daging Sapi' Tanpa Alasan
“Terkadang tanpa sadar kita berbuat baik pada seseorang dengan alasan mereka adalah keluarga kita atau kita menyayangi mereka. Tapi, apa kita melakukan itu tanpa mengharapkan imbalan? Seperti perkataan, ‘tidak ada daging sapi tanpa alasan’, niat baik yang berlebihan biasanya disertai dengan pengorbanan. Tentu saja pengorbanan bukanlah hal yang buruk, tapi jika ditambahkan dengan syarat, niat baik itu berubah menjadi pemaksaan.” (Kim Suhyun, 2020: 60) Dilaman ke enam puluh buku yang berjudul Nyaman Tanpa Beban karya Kim Suhyun ini, aku lumayan termenung cukup lama. Kemudian aku terpikir buat nulis sedikit tentang ini, karena merasa ini relate dengan beberpa overthinkingku belakangan ini.
Aku cukup terguncang atas suatu kejadian yang diluar dugaanku, responku terhadap kejadian itu ada marah dan sedih karena kecewa (singkatnya begitu). Kenapa aku sekecewa itu, dan jawabannya adalah karena aku secara sadar sudah bahkan sedang berbuat baik pada orang yang membuatku kecewa dan secara tidak sadar mengharap imbalan yang baik juga atau minimal tidak mendapat hal mengecewakan dari orang tersebut.
Aku memiliki niat baik yang berlebihan dan merasa sudah berkorban banyak untuk orang itu, lalu mengapa secara sadar orang tersebut melakukan hal yang jelas itu melukaiku. Beberapa waktu aku menyalahkannya, dan menghukumnya dengan bersikap sangat dingin. Tapi itu tidak kunjung menggugurkan kekecewaanku padanya. Hingga akhirnya, suatu waktu aku tersadar bahwa sikapku yang demikian tidak menyelesaikan masalah dan tidak membuat perasaanku menjadi lebih baik.
Jika kupikir kembali orang itu tidak meminta aku berbuat baik padanya, lalu kenapa aku membebaninya dengan harus berbuat baik juga atau bertindak tidak mengecewakan. Ini jelas keliru, dengan menyalahkan seseorang karena pahala yang tidak kembali dan menganggap orang lain bertanggungjawab atas kebahagiaanku. Bukankah ini berarti pengorbanan tanpa kesepakatan. Padahal seharusnya berbuat baik tanpa syarat sudah cukup, tidak pula berdasarkan utang budi. Sejalan dengan stoicisme, berfokus pada hal yang berada dalam kendali diri. Sisanya sudah bukan urusanmu lagi, bahkan ketika hal itu bukan yang kamu sangka akan menerimanya dari orang yang kamu selalu beri kebaikan terhadapnya atau orang yang kamu sayangi.